Halaman

Jumat, 01 Februari 2013

TRADISI TELINGA PANJANG MASYARAKAT DAYAK

Tradisi Telinga Panjang Masyarakat Dayak


Tradisi Telinga panjang adalah salah satu Tradisi Masyarakat Indonesia yang cukup unik dalam Masyarakat Dayak Kalimantan , meskipun tidak semua suku melakukan, tetapi tradisi ini sudah terlanjur erat dihubungkan dengan masyarakat dayak secara umum.

Di Kalimantan Timur, kita masih bisa mendapati Tradisi ini dikalangan orang orang dayak kenyah, Bahau dan Kayan, sedangkan di Kalimantan barat  suku dayak Iban, kayan taman dan dayak punan. Tradisi inipun kebanyakan hanya dilakukan di daerah pedalaman seperti di daerah Kapuas Hulu.

Pada Tradisi Masyarakat Dayak ini terdapat perbedaan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, laki- laki biasanya hanya boleh memanjangkan telinga tidak melebihi bahu, sedangkan untuk kaum perempuan boleh memanjangkannya sebatas dada, proses penindikan dilakukan sejak masa kanak-kanak.

Ada beberapa tujuan yang melatar belakangi Tradisi di Masyarakat dayak ini, ada yang bilang sebagai pembeda antara kaum bangsawan dengan orang orang biasa yang bisa dilihat perbedaan anting-anting atau subang perak yang gunakan, ada juga yang menggunakannya sebagai identitas penunjuk umur seseorang, hal itu bisa kita dapati pada penambahan anting-anting di tiap bertambahnya umur seseorang, selain itu ada juga sebagian dari suku dayak yang melakukannya hanya untuk melatih kesabaran seseorang.

Tradisi Telinga Panjang merupakan Tradisi Indonesia yang mulai berkurang dan hampir punah, hal ini disebabkan oleh arus modernisasi dan globalisasi yang merambah Indonesia khususnya masyarakat dayak, timbul rasa malu pada sebagian besar masyarakat untuk kembali memanjangkan telinga, efek negatif yang ditimbulkan Globalisasi menjadikan masyarakat kita kurang menghargai dengan Tradisi dan Budaya yang kita miliki, terutama pada masyarakat dayak di Kalimantan, kita lebih cenderung menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional, seperti terjadi pada Tradisi Memanjangkan Telinga oleh orang orang dayak, karena dalam anggapan mereka saat melihat tradisi nenek moyang dipandang aneh dan langka oleh dunia, mereka enggan untuk melakukannya, meskipun ada sebagian dari mereka yang lebih memilih untuk bertahan.

Dengan melihat kenyataan yang terjadi pada Tradisi Telinga Panjang yang dilakukan oleh masyarakat dayak di Kalimantan ini, tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi pada kebanyakan Tradisi-Tradisi Masyarakat Indonesia lainnya.





Penasaran dengan pampang yang dijadikan salah satu wisata andalan Samarinda. Meskipun pernah tinggal di kampung dayak kenyah di hulu bahau, pengen juga jalan-jalan ke pampang. Kabarnya harus bayar mahal untuk nonton acara kesenian dan memotret warga Kenyah.

Sebuah kesalahan kecil yang berakibat fatal: kurang informasi dan datang tidak pada waktu yang tepat. Acara kesenian hanya diadakan pada hari minggu jam 14.00-15.00. Saya datang jam sepuluh pagi, terlalu lama untuk menunggu acara. Jadi..hanya berkeliling lamin melihat persiapan acara, dan pastinya foto-foto juga. Karena sudah diingatkan teman, saya berhati-hati untuk tidak memotret warga dayak dengan pakaian adat, apalagi yang bertelinga panjang, karena bakalan diminta bayaran 25 ribu sekali jepret. Mahal banget ya? Tapi saya dapet juga tuh nyuri foto si bapak lengkap dengan pakaian adat plus kacamata hitam, meski nggak jelas yak..

Untuk nonton acara keseniannya hanya bayar 15 ribu, tapi entah kenapa untuk foto menjadi semahal itu. Ini karena sadar wisata atau pemerasan ya? Kalau menurut saya sih terlalu mahal dan justru membuat pengunjung tak ingin kembali lagi.

Lagi-lagi soal pengelolaan. Kalau saja wisata di pampang dikemas lebih menarik, bukan melulu tari-tarian dan foto bersama warga dayak, pastilah bisa menarik lebih banyak pengunjung. Kalau saja pengelola lebih serius membuat paket-paket wisata dimana pengunjung juga bisa merasakan kehidupan dan budaya Dayak Kenyah....kalau saja...ah..cuma berandai-andai.


inside.jpg
  

welcome.jpg
 1 Komentar 

beauty.jpg
  

lamin.jpg
  

ke...lamin.jpg
  

tangga ato perosotan.jpg
 Komentar 

pemimpin upacara.jpg
  

totem.jpg
  

bening-gendongan bayi-.jpg
 Komentar 

Macam-macam tarian tradisional suku dayak Kenyah

Macam-macam tarian tradisional suku dayak Kenyah

1. Tari Kancet Papatai / Kancet Pepatay
Tarian Kancet Papatai adalah tarian perang yang bercerita tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah yang sedang berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah lengkap dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
2. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Tari Kancet Ledo adalah sebuah tarian tradisional suku dayak kenyah yang menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis. Kelemah lembutan seorang gadis suku Kenyah di ibaratkan sebagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut saat ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
3. Tari Kancet Lasan
Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku dayak kenyah. Gerakan dan posisi tarian kancet Lasan hampir sama dengan tarian Kancet Ledo. Bedanya jika tarian Kancet Ledo mengambarkan tentang kelemahlembutan seorang gadis, maka tari Kancet Lasan ,enggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang.  Dalam kepercayaan suku dayak Kenyah, burung Enggang sangat dimuliakan karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Dalam tarian Kancet Lasan, si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang. Penari juga banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai dimana gerakan-gerakan ini menyeruapai gerakan burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
4.Tari Leleng
Tarian Leleng adalah tarian gadis suku dayak Kenyah yang bercerita tentang seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian ini disebut tarian Leleng karena saat di tarikan diiringi nyanyian lagu Leleng.
5. Tari Hudoq Kita’
Tarian Hudoq kita’  dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini merupakan tarian upacara menyambut tahun tanam serta untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Yang paling unik dari tarian Hudoq Kita’ adalah kostum penarinya. Para penari Hudoq Kita’ menggenakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Topeng yang digunakan dalam tarian Hudoq Kita’ ada 2 jenia, yaitu  topeng yang terbuat dari kayu dan topeng yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
6. Tari Pecuk Kina
Tarian Pecuk Kina menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah dari daerah Apo Kayan ke daerah Long Segar. Migrasi ini memakan waktu bertahun-tahun sebagian besar disebabkan karena jaraknya yang termasuk jauh. Daerah Apo Kayan terletak di kabupaten Bulungan sedangkan daerah Long Segar berada di wilayah kabupaten Kutai Barat.
7. Tari Datun
Tari Datun adalah tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah. Para penari terdiri dari para gadis yang berjumlah tidak terbatas. Jumlah penari bisa antara 10 hingga 20 orang. Pada awalnya tari Datun diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Namun kemudian tarian ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah dan menjadi tarian tradisional.